Minggu, 17 April 2011

MENEMBAK KERTAS 10 METER (2) : FALSAFAH (Boris Mata Setan "KOMSAS")

Falsafah berburu dengan bedil angin, menurut saya adalah bagaimana mendekati binatang buruan sedekat mungkin, sampai dengan jangkauan jarak tembak, sampai dengan jarak yang cukup dekat sesuai dengan kemampuan marksmanship petembak dalam ketepatan menembak, sesuai dengan ukuran kill-zone hewan yang diburu.

Sedangkan menembaknya sendiri adalah efek samping dari teknik pendekatan tersebut. Maka sebenarnya yang berperan utama dalam hal ini adalah teknik mengendap-endap, merayap, menunggu/mengendap, dan berkamuflase supaya sasaran tidak sadar sedang didekati. Menembaknya sendiri adalah nomor dua. Nomor satu mendekati buruan. 

Kamuflase adalah seninya.

Riwayat manusia dalam sejarah berburu dari jaman purba adalah dengan tangan telanjang, dengan batu, hambalang, ketapel, jerat, kampak, pisau genggam, tombak, panah, kemudian masuk teknologi yang lebih modern yakni bedil angin dan bedil api.

Dasar falsafahnya sama. Mendekati mangsa sedekat mungkin. Tidak heran pada jaman purba, dengan sebongkah batu kapak genggam manusia bisa mendapatkan rusa untuk makanan sehari2 bersama anak istri. Dengan memainkan teknik kamuflase dan kesabaran menunggu. Pada tataran yang lebih sophisticated, memainkan teknik mengundang buruan dengan suara, bau atau umpan.
.........................................................................................
Menembak kertas 10 meter kelas Match memiliki falsafah yang berbeda. Menurut pendapat pribadi renungan saya ( nggak tau kalo menurut pihak lain ), menembak kertas 10 m dengan posisi berdiri adalah : 

“bagaimana dengan segenap kemampuan mental pribadi kita sebagai manusia utuh dengan segala kelemahan mekanis biologisnya, dengan segenap upayanya tanpa alat bantu, untuk bisa “relative membekukan diri”, relative menghentikan sinkronisasi kelurusan antara visir belakang, visir depan dan titik target lingkaran, yang titik tengah 10-nya hanya berukuran sebesar kacang ijo, dengan jeda waktu yang cukup sehingga masih bisa melaksanakan penarikan pelatuk dan memelihara kelurusan sampai dengan pellet keluar dari moncong, dan konsisten dari tembakan ke tembakan berikutnya “.

Zona “pembekuan-relatif” ini bisa saja diistilahkan dengan berbagai istilah : Quite Zone, Freeze Zone, Calm Zone, Zona Mati, Zona Tenang, Zona Teduh. Terserah saja apapun istilahnya. Yang penting terserap pengertiannya.

Saya gunakan istilah “pembekuan relative”, karena faktanya di dalam praktek menembak berdiri visir itu tidak akan pernah “berhenti mutlak”. Selalu bergoyang. Tentu saja bagi yang ahli goyangannya di area target semakin mengecil. Prinsipnya goyangan itu tidak pernah berhenti. Siapapun yang menembak. Membidik dan menarik pelatuk pada saat yang tepat saat visir belakang, visir depan dan titik target sedang segaris dan tetap memelihara sinkronisasi kelurusan visir belakang, visir depan, dan target sampai dengan pellet keluar dari laras, Itulah tugas utama petembak kertas.

Setelah pellet keluar dari moncong, giliran tugas bedilnyalah untuk menunjukkan ukuran kejagoannya, dalam melaksanakan tugas mekanisnya mendorong pellet, memutarnya dalam laras dan memelihara kelurusan terbangnya kearah titik target yang sudah dipelihara kelurusannya oleh petembak melalui mekanisme visir.

Sedangkan perkenaannya pada target adalah efek sampingnya. Kalau kendali di falsafahnya sempurna dan bedil plus pelletnya jagoan, perkenaannya akan tepat, kalau tidak sempurna, perkenaannya meleset. Melesetnya seberapa, tergantung derajat kesempurnaan mental pengendalian diri dan derajat kesempurnaan suami istri pellet-bedil.

Karena kegiatan utamanya pengendalian diri, penguasaan dan kapasitas diri, maka sector inilah yang menjadi konsentrasi utama petembak. Sektor inilah yang menjadi inti sumber, sehingga kegiatan ini bisa disebut sebagai olahraga. Score tembakan hanyalah sebagai alat, sebagai tools, untuk mengukur seberapa tinggi derajat petembak dalam mengendalikan diri mental sadar dan bawah sadar, seberapa tinggi menyerap olahraga ini.

Pengendalian diri, keselarasan antara alam sadar dan fenomena mekanisme fisikal biologis tubuh manusia serta alam bawah sadar dalam proses pencapaian “pembekuan-relative” dan pelaksanaan tarikan pelatuk pada zona “pembekuan”, itulah yang menjadi obyek riset, penelitian, untuk menentukan cara dan teknis untuk melatihnya. Melibatkan dokter olahraga, ahli biologi fisiologi, psikolog, ahli nutrisi dan bahkan psychoanalyst. Busyet. Latih dan latih terus. Pertajam dan pertajam terus.

Seninya terletak di situ.

Performa bedil ? Itu adalah urusan insinyur pabrik dan urusan para koprekolog.

Karena falsafahnya adalah pengendalian, konsentrasi tinggi, penguasaan keserasian mental sebagai pribadi utuh manusia dengan tulang dan otot, kalau begitu berarti olahraga ini tidak tergantung pada seberapa banyak harta yang kita miliki dan seberapa banyak uang yang kita miliki, dong ?

Menurut saya : iya. Orangnya nomor satu. Bedilnya adalah urusan kedua.

Inilah yang saya maksud bahwa olahraga ini bisa diserap spirit aspirasinya dengan cara murah meriah.

Menghentikan, membekukan diri dan sinkronisasi visir, memelihara kelurusan, dan menarik pelatuk, selama sepersekian detik saja ? 0,5 s/d 1 detik saja ?
Mungkin anggapannya : ah, gampang itu.

Cobalah, dan rasakan, betapa frustrasinya kita untuk bisa mencapai hal itu.
Kalau gampang, tentu saja semua tukang tembak menjadi juara Olimpiade.

Mari kita sama-sama telaah, hal-hal apa saja yang berpengaruh terhadap “pembekuan dan sinkronisasi” itu sehingga menjadi demikian sulit dan berat. 

Inilah kira-kira : 

SISI MANUSIANYA : gerakan goyangan kecil sambungan tulang2 sendi tangan sendi kaki sendi pinggul, getaran otot yang sedang dalam posisi berkontraksi, tarikan tendon, getaran aliran darah di sekujur tubuh, kembang kempisnya paru2 yang bekerja otomatis, kembang kempisnya otot rongga dada dan perut yang bergerak terus menerus, putaran gerakan bola mata, getaran otot wajah, getaran otot tangan yang menyangga bedil, tekanan darah, ritme detak jantung, denyut nadi tubuh, dan kondisi pikiran / mind / mental kita, dan lain-lain.

Sekecil apapun, akan menyebabkan goyangan. Sekecil apapun goyangan, akan berperan terhadap kemelesetan.

SISI BEDIL DAN PELLET : goyangan moncong karena bedil terlalu ringan, berat tarikan pelatuk, bedil berat belakang atau berat depan dari titik tumpu, getaran laras saat dilalui pellet yang berputar, recoil dari bedil yang sedang mengusir pellet untuk lari, baik recoil per maupun recoil hammer atau recoil chamber udara, kehalusan dan kesempurnaan bentuk aerodinamical pellet, hembusan angin, dll.

Sekecil apapun, akan menyebabkan distorsi. Sekecil apapun distorsi, akan berperan terhadap kemelesetan.

Apakah mampu manusia membekukan diri dengan berdiri sambil menggotong bedil seperti itu ? Jawabnya : mampu dan bisa. Asalkan berlatih tekun dan sanggup menguasai mental dengan baik.

Apakah kemampuan “membekukan diri” itu akan merosot seiring dengan bertambahnya umur manusia. Jawabnya : ya dan tidak. Relative. 

Apakah orang berumur di atas 40 tahun dan matanya sudah mulai kabur masih bisa menembak tepat pada kertas 10 m ? Jawabnya : mungkin bisa, dan mungkin tidak begitu masalah. Karena sasaran kertas lingkaran tidak harus dilihat dengan terang. Kabur samar-samarpun tidak mengurangi ketepatan tembakan.

Jadi olahraga ini bisa dilakoni baik remaja, dewasa dan orang tua ? Menurut saya : Iya. Bisa. Yang penting bukan tua stroke buta lumpuh pikun saja. Anggap saja seperti bulutangkis. Bisa dilakoni anak2 sampai tua bangka. Perkara pandai atau goblok, ahli atau tidak, itu tergantung kapasitas dan talenta masing-masing. Namanya hobi yang penting bisa memunculkan kegembiraan di hati, cukup sudah. Persis seperti olahraga lainnya.

Menurut pendapat saya, kegiatan menembak kalau dikasta-kastakan seperti peng-kasta-an dalam Hindu, mungkin kira-kira seperti ini :

Menembak tanda rambu lalu lintas, neon tetangga, hewan langka : Kasta Paria.
Menembak burung penyanyi, kutilang, elang, kuntul, blekok. : Kasta Sudra.
Menembak hewan hama, metal silhouette, plinking, : Kasta Ksatria.
Menembak target kertas : Kasta BRAHMANA.

Menembak kertas adalah Zen-isme. Adalah Tao-isme. Adalah Budhisme. Adalah Pendeta. Adalah Pertapa. Kontemplasi, meditasi, hening-diri. Kelembutan, Kasih, Cinta. Yesus.

Setelah saya renungkan, karena sedemikian “religiusnya”nya tembak kertas ini, dalam tataran tertinggi, yang mungkin baru bisa dirasakan oleh para master, tembak kertas ini mungkin pada akhirnya secara spiritual bisa dilakukan tanpa bedil, tanpa pellet dan tanpa sasaran. Menembak secara imaginer !! Hanya berada dalam pikiran. Mengangkat bedil, menopangnya di tangan, merelax-kan seluruh otot tubuh, bernapas seperti meditasi, membidik tepat dan membekukan bidikan, menarik pelatuk tanpa kesadaran penuh, merasakan getaran bedil dan melihat pellet tepat melubangi angka 10. Dan tersenyum puas. Dilakukan secara maya. Betul2 imaginer. Transcendental. 

Dalam menembak kertas hal-hal negative dalam diri manusia harus diperkecil sampai dengan sekecil-kecilnya jika ingin hasilnya sempurna. 

Hal negative seperti : Amarah, benci, takabur, uring2an, tergesa-gesa, tidak sabar, patah hatian, panic, khawatir, berdebar-debar, gundah, dongkol, nafsu dll. Dilatih untuk dieliminir.

Dalam tembak kertas tidak ada nafsu membunuh. Dan tidak ada musuh, lawan maupun korban. Musuhnya adalah diri kita sendiri. Lawannya adalah mental negatif kita.

Inilah sehingga olahraga ini saya sebut sebagai olahraga mental, jiwa dan pikiran. Olahraga Brahmana.

Marilah, para muda perkasa yang tertarik, mulailah menekuninya pelan-pelan. Kuasailah mental Anda, hilangkan anasir negatif, dan munculkan aura positif.

Demikian sekedar hasil renungan pribadi tentang falsafah singkat olahraga tembak kertas. Mohon diluruskan kalau ada yang bengkok, ditambahkan kalau ada yang kurang. Saya cuma ndeso dan amatir. Mohon maaf ndleming terlalu banyak. Maklum, sedang kangslupan. 


Salam. Swuitcssscthwinkggggg. Wrong Black No Kill.

2 komentar:

  1. Hampir semua bidang ilmu pasti arahnya kesitu mas. Tidak terkecuali menembak, pada akhirnya ke filsafat juga.

    Sip.

    BalasHapus